Laman

Minggu, 17 Januari 2010

Perpisahan Sekolah

Gak terasa hari perpisahan sekolah udah aku lalui. Padahal, perasaan aku kaya baru kemarin aku naik kelas 3. aku gak mau pisah sama semua teman-teman aku. Aku kangen banget sama mereka. Perasaan aku sedih kalo udah ingat masa-masa SMP dulu. Waktu perpisahan, sekolah ngadain acara gitu , kalo gak salah kita ngadain acara di bandung. Itu hari terakhirku bisa ngumpul bareng sama mereka. Ada satu kenangan terakhir dari temanku, jadi gini waktu kita semua lagi pada main ditaman, salah satu teman aku ada yang “buang angin” gitu, yang tadinya kita lagi pada ngobrol serius malah jadi ketawa, dan teman aku bilang “maaf abisnya gak bisa ditahan sih”, dengan tampang super cengonya dia waktu ngomong kaya gitu kita malah tambah ketawa ngakak. Tapi kita semua seneng banget, soalnya itu hari terakhir kita bisa ketawa bareng, bercanda bareng dan curhat-curhat bareng.

Pengalaman Yang gak Bisa di Lupain

Pengalamanku waktu nyari sekolah Sangat menyenangkan. Mulai dari isi formulir, sampe bolak-balik ke sekolah pilihanku yang kedua. Itu cape banget. Jarak antara pilihan sekolah pertama dan keduaku itu cukup jauh. Dan hasilnya pun aku gak diterima, rasa kesal dan penyesalanku menjadi campur aduk. “Udah cape-cape aku nyari sekolah ternyata gak diterima,” batinku. Sampai aku pernah dimarahin sama petugas sekolah karena telat ngasih berkas. Tapi semua itu adalah pengalaman yang gak bisa aku lupain.

Kamis, 14 Januari 2010

seorang anak bertahan untuk hidup

Namaku adalah David. Umurku 6 tahun. Aku anak terakhir dari tiga bersaudara. Nama ibuku adalah lucida, sedangkan ayahku bernama martin. Aku mempunyai dua kakak laki-laki, yang pertama bernama ariel dan yang kedua bernama Darren. Kami adalah keluarga yang sangat bahagia. Jarang sekali ada petengkaran di dalam rumah. Ayah dan ibuku sangat akur sekali. Setiap kami pergi ke sekolah, ibu selalu menyiapkan sarapan pagi untuk ku dan kedua kakak ku. Aku sangat bahagia mempunyai keluarga seperti mereka.

Pada suatu hari, entah mengapa ibuku berubah sikap. Ia sangat pemarah dan suka sekali mabuk. Ia juga sering bertengkar pada ayah. Kami juga sering kali jadi pelampiasan kemarahan ibu. Ibu juga tidak pernah lagi menyiapkan sarapan ketika kami akan berangkat ke sekolah. Hari demi hari kita lewati, perubahan sikap ibu makin bertambah. Kami sampai tidak bisa mengenali sosok ibu yang dulu. Ibu yang lemah lembut, ibu yang selalu berpakain rapih, ibu yang sangat menyayangi keluarganya. Karena ayah tidak tahan lagi dengan sikap ibu, akhirnya ayah pergi meninggalkan rumah dan kami. Dan ibu pun tidak menahan ayah untuk tidak pergi dari rumah, ibu malah membiarkan ayah pergi,malah menyuruhnya untuk pergi dari rumah. Tapi herannya kenapa selalu aku yang kerap kali menjadi pelampiasan kemarahan ibu. Dan kakak-kakak ku tidak ada yang mau menolong ku.

Suatu saat , setelah aku pulang sekolah ibu menyuruh ku untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Tanpa dibantu oleh siapa pun.kata ibu “ jika kamu ingin mendapatkan makan siang mu, kamu harus menyelesaikan pekerjaan mu dulu”. Maka aku menuruti semua perintah ibu. Setiap hari aku diperlakukan seperti itu oleh ibu. Bahkan ibu pernah menyuruhku untuk tidak berangkat ke sekolah sebelum aku selesai mengerjakan tugas rumah karena kalau tidak selain aku tidak di izinkan untuk berangkat sekolah, aku pun tidak akan mendapat jatah sarapan pagi ku.

Setiap hari aku lalui hidup ku dengan kemarahan ibu. lama-kelamaan sikap ibu makin menjadi-jadi, ibu berani bermain kasar terhadap ku. suatu hari kepalaku pernah dibenturkan ke pinggiran tembok, dan tubuh ku di pukuli dengan kayu sampai memar hanya karena aku tidak menyelesaikan pekerjaan ku, karena aku tidak kuat lagi, badan ku sangat lemas dan letih ditambah lagi aku belum makan. Kakak ku hanya bisa melihat ku diperlakukan seperti itu oleh ibu tanpa ada yang mau menolongku.

Sudah 2 tahun aku diperlakukan seperti itu oleh ibu. Hari itu aku harus berangkat ke sekolah dan seperti biasanya aku harus menyelesaikan pekerjaan rumah dulu. Sesuai janji ibu, setelah aku menyelesaikan semua tugas ku, aku akan mendapatkan jatah sarapan pagi ku. setelah selesai semua pekerjaan ku, entah mengapa ibu mengingkari janjinya itu, alhasil aku harus makan makanan sisa kakak ku yang sudah dibuang ke tong sampah oleh ibu. Sebenarnya hal itu sudah biasa aku lakukan, aku selalu mendapatkan makanan sisa yang sudah dibuang ke tong sampah, sehingga aku harus mengorek-ngorek sampah untuk mendapatkan jatah makanan ku. Kamar ku pun telah di pindahkan oleh ibu ke dalam gudang yang berisi barang-barang bekas.

“ Aku kangen pada ayah, aku ingin sekali bertemu dengan ayah. Mengapa ayah tega meninggalakan ku sendiri disini bersam ibu yang terus menyiksa ku tiada henti.” Terbesit dalam pikiran ku untuk bertemu dengan ayah. Sampai sekarang aku pun tidak tahu apa alas an ibu yang terus memperlakukan aku seperti seperti itu. Mengapa hanya aku??

Di sekolah teman-teman ku juga sering mengejek ku. setiap aku masuk kelas, teman-teman ku selalu menutup hidungnya Karena tidak tahan dengan bau badan ku. ya, sudah hamper 2 tahun ini ibu tidak membelikan ku seragam baru beserta perlengkapan-perlengkapan sekolah lainnya. Sepatu ku saja sudah tidak layak dipakai lagi, aku saja bisa mengeluarkan dan menggerak-gerakkan jempol kaki ku karena sepatu ku yang sudah rusak. “Hai david, aku tidak tahan mencium bau badan mu itu!! Lebih baik kau keluar saja dari kelas ini!!.” Kata-kata itulah yang selalu aku dengar dari mulut teman-teman ku. ibu sering sekali dipanggil ke sekolah karena perilaku dan keadaan fisik ku yang dianggap ada yang mengganjil dalam diriku. Sehingga teman-teman dan guru-guruku tidak bisa mengenaliku seperti “david yang dulu.” Karena kesal dan tidak mau perilakunya diketahui oleh orang lain, sehabis dipanggil oleh pihak sekolah, ibu sering menyiksaku lebih parah dari sebelumnya. Aku pernah merasakn perutku ditusuk dengan pisau oleh ibuku, tubuhku dipukuli, muka ku disodorkan dengan kotoran sampai hidung ku mengeluarkan darah. Aku selalu berharap dan berdoa, ada orang yang mau menolong ku sehingga aku bisa mengakhiri penderitaan ku.

Beberapa bulan kemudian. Aku harus berangkat ke sekolah, sebelum barangkat aku harus menyelesaikan tugas ku dulu seperti biasanya. Hari ini ada ulangan matematika. Aku tidak boleh telat dating ke sekolah. Oleh karena itu aku harus cepat-cepat menyelesaikan tugas rumah ku. aku lari sekencang-kencangnya.untuk datang ke sekolah tepat pada waktunya. Bel berbunyi, tepat pada saat aku sampai ke sekolah. Hari ini aku tidak tahu akan ada pemeriksaan ke sehatan disekolah. Setelah ulangan selesai, satu persatu nama murid-murid di kelas ku di panggil. Kini giliran ku, sebenarnya aku ingin menghindari dari semua ini. Aku takut ibu memarahiku karena perbuatannya salama ini terhadapku. Perbuatan yang selama ini menyiksaku dan membuat tubuhku memar.

Aku masuk kedalam ruangan kesehatan. Di dalam ruangan terlihat sosok wanita yang begitu keibuan, dan ia sangat memperhatikan ku sehingga aku merasa nyaman. Ia menyuruhku berbaring, dan membuka baju ku untuk diperiksa, aku sempat menolak lalu ia berkata, “tidak apa-apa nak, saya hanya ingin periksa kesehatan mu saja.” Suaranya begitu lemah lembut, sehingga mengingatkan ku pada ibuku yang dulu. Ia melihat bekas memar-memar ditubuhku dan kepalaku. Sentuhan tangannya begitu hangat. Sudah lam aaku menginginkan sentuhan tangan ibu yang begitu lembut kepadaku. Dan sentuhan tangan itu berhenti pada bekas luka di perutku. Wanita itu menanyakan luka itu padaku. Aku hanya bisa diam. Tetapi wanita itu terus mendesak ku untuk menjawab pertanyaanya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan kali ini . akhirnya aku menjawab bahwa semua ini adalah perbuatan ibu. aku berkata pada wanita itu jika ia sudah tahu yang sebenarnya jangan sampai ibu mengetahui ini semua karena ia akan menyikasa ku bahkan membunuh ku. Tetapi wanita itu hanya diam dan memeluk ku sangat erat sekali, setelah itu ia menyuruhku untuk keluar dari ruangan.

Tanpa sepengetahuan ku, wanita itu menelepon ibu untuk datang kesekolah dan menelepon polisi untuk menyampaikan semua kasus ku. setelah ibu dan wanita itu berbicara di dalam ruangan lalu polisi menangkap ibu, aku hanya bisa melihat ibu dibawa oleh polisi itu. Ibu sempat berbicara padaku “maafkan ibu nak, ibu sangat menyesal melakukan ini semua padamu, ibu sangat menyayangimu.” Kenapa baru sekarang ibu berbicara ini padaku. Maafkan aku ibu, aku telah melakukan ini padamu. Itu semua ku lakukan hanya ingin bertahan hidup tanpa adanya siksaan yang selama ini aku dapatkan darimu.

Akhirnya aku bertemu dengan ayah. Aku berkumpul dengan keluargaku tanpa adanya ibu. aku harus terus menjalani hidup. Aku harus membahagiakan ayah dan kakak ku. Aku harus menutup semua lembaran lamaku. Dan menjalani dengan semangat lembaran baruku.




Adaptasi dari novel

kereta cinta nayla

“Kereta cinta Nayla”

Nama ku ira. Aku mempunyai sahabat bernama nayla. Nayla adalah anak manja yang memang dari keluarga mampu. Tak heran jika kemana pun ia pergi selalu ada yang antar jemput. Saat itu kami harus study tour ke bandung, ia memilih naik pesawat ketimbang naik kereta express yang bagus. Gayanya yang borjuis membuat anak-anak kesal terhadapnya.

Kali ini tugas praktek sosiologi ke Kebun Raya Bogor mengharuskan kami naik kereta karena observasi selama perjalanan juga harus diuraikan.nayla sempat menolaknya, ia mengusulkan kepada teman-temannya untuk naik mobil saja, tapi usulnya itu ditolak oleh Arya sang ketua kelompok. Tak heran jika selama perjalanan nayla pasang tampang cemberut,ia membayangkan betapa sengsaranya naik kereta ekonomi yang panas.

Hampir jam delapan pagi tapi nayla belum datang padahal kami janjian distasiun kalibata jam setengah delapan. “ kalau sampai jam delapan nayla juga belum datang kita tinggal saja dia,” putus arya kesal. Tak lama kemudian nayla datang dengan setengah berlari. Aku tertawa kecil karena melihat penampilan nayla yang memakai jaket tebal ditambah lagi dengan syal memangnya kami mau ke puncak yang berhawa dingin, pikirku.

“Nyaris aja lo kita tinggal,” tegur arya. “sorry gw telat,”jawabnya dengan memasang tampang tak bersalah. Akhirnya kereta datang. Meski hari minggu penumpangnya tetap saja banyak. Kutarik kencang tangan nayla yang masih terpaku menatap puluhan orang.meski kami sudah berusaha tetap saja kami tidak kebagian tempat duduk. Akhirnya kami pun harus berdiri dan berhimpitan dengan banyak orang.

“ra, penuh banget sih keretanya,” protes nayla.

“maklumlah kereta ekonomi!”

“panas banget, ra!”

“ ya iyalah!lagian ngapain sih lo pake jaket tebal gitu.”

“gw takut kulit gw hitam.”

“capee deeh!! Sekarang rasain akibatnya.”

Nayla merengut. Butiran keringat membasahi kening mulusnya. “ tuh kan nay banyak pemandangan,” godaku mencoba menghiburnya.

“gak lucu, ra! Gw udah mau pingsan neh kelamaan berdiri,” rutuknya. Untungnya dua penumpang turun di stasiun berikutnya, jadi kami bisa duduk. Kereta berhenti agak lama di stasiun depok karena banyak penumpang yang turun. Suasana lebih sepi dan udara segar masuk sehingga tidak terasa sumpek. Seorang gadis kecil mengamen menghampiri kami. Enyah lagu apa yang di nyanyikan tadi. Ia menyodorkan plastic permen karet agar kami memberikan uang receh. Lembaran uang seribu ku masukkan ke dal;am kantong plastik tersebut. Lalu ia beralih kepada nayla agar ia juga melakukan hal yang sama. Dengan wajah terlihat jijik nayla menjauhkan tangan gadis itu agar tidak menyentuh tubuhnya. Ia menolak untuk memberikan uang recehnya.

“Emang cari duit gampang, dia enak aja tinggal minta,” omelnya setelah gadis itu pergi.

“Dia gak minta nay! tadi dia kan udah nyanyi, kalo minta dia pengemis dong,” belaku.

“ ah, sama aja!” jawabnya seraya mengibaskan sapu tangan untuk menghela panas.

Tak berapa lama kami pun sampai di stasiun bogor. Desak-desakkan pun kembali terjadi. Kali ini aryalah yang menarik tangan nayla agar ia tidak terjatuh saat turun.

Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan naik angkot yang menuju kebun raya.

“hah! Dompet gw ilang!” teriak nayla sambil mengobrak-abrik seluruh isi tasnya.

“yang bener nay! Pelan-pelan dulu carinya siap tahu terselip,” ujar rico.

Nayla mulai mengeluarkan isi tasnya tapi sampai barang terakhir ia tidak juga menemukan dompetnya. Wajahnya tambah pucat pasi. Aku segera menggenggam tangannya agar tidak pingsan, rico dan arya bingung harus bagaimana karena kecopetan dikereta api terlebih dta adalah hal biasa.

Sesampai di kebun Raya kami tidak langsung ke kantor observasi tapi istirahat terlebih dahulu untuk menenangkan nayla. Setelah kecopetan tadi membuatnya shocked ini pertama kalinya ia naik angkotan umum dan langsung kecopetan. Air mata mulai menggenangi kedua matanya. “gw bukan masalah uangnya, ra! Tapi disitu ada foto almarhum nenek dan itu foto kesanyangan gw,” isaknya. Aku tak tahu harus berbuat apa hanya bisa mengelus punggungnya berharap bisa mengurangi beban kesedihannya,

Melihat wajah sedih nayla, rico dan arya akhirnya yang melanjutkan mengerjakan tuga sosiologi. Kami pun disurunya untuk menunggu selama mereka mencari bahan.

“apa ini milik kakak?” Tanya seorang gadis yang tiba-tiba saja muncul dihadapan kami. “ya ampun, ra! Ini dompet gw,” teriak nayla senang melihat barang miliknya ditemukan kembali.

“belum ada yang diambil koq,” lanjutnya. Oh,iya makasih banget ya ,hei….kamu bukanya pengamen yang diatas kereta tadi?”seru nayla setelah melihat siapa yang ada dihadapannya.

“iya,maafin abang saya telah mencuri barang milik kakak,”ujarnya sambil tertunduk.

Aku dan nayla saling bepandangan sekali tak menyangka akan bertemu lagi dengan gadis kecil ini. Terlebih lagi ia mengembalikan dompet yang telah dicuri abangnya dari tas milik nayla.

Ia pun bercerita jika abangnya memang suka mencuri barang orang lain di atas kereta. Ia sudah berkali-kali menegur abangnya untuk berhenti dari pekerjaannya itu tapi tidak pernah dipedulikan. Jika suatu ketika abangnya tertangkap basah mencuri dihadapannya ia akan berusaha untuk mencuri lagi barang pemiliknya. Begitu pun yang terjadi pada nayla.

“kami tidak tahu harus bilang apa,makasih ya!”ujarnya tulus
Ia bernama ina dan baru kelas 5 SD. Orang tuanya juga bekerja sebagai pedagang asongan di atas kereta. Keinginannya untuk terus sekolah yang membuatnya semangat untuk tetap mengamen meski kadang hasil yang di dapat tidak banyak karena harus bersaing dengan puluhan pengamen lainnya. Semangat ina dalam menjalani hidup membuatku kagum karena dimana anak seusianya masih sibuk main ia sudah harus kerja keras. Tak sedikit pun kulihat sedih di wajahnya. Sambil bercerita dengan ceria ia memakan dengan lahap semua makanan yang kami belikan. Setelah selesai ia pun pamit untuk melanjutkan pekerjaannya.


“Rumah kamu dimana?” Tanya nayla yang sedari tadi hanya diam.

“ Di samping stasiun,kak!”

“ Kapan-kapan kakak boleh main gak?” tanyanya yang membuatku langsung terpana keheranan.

“ Boleh kak, tapi rumah aku kecil,” ujarnya malu.

Nayla tersenyum. Tanpa risih ia mengambil tangan ina kemudian menyerahkan seluruh uang yang berada di dompetnya.

“ Kak, jangan seperti ini! Aku gak mau dikasihani!” ujarnya seraya menolak pemberian dari nayla.

“ Kakak minta maaf sama kamu, tadi diatas kereta kakak tidak menghargai jerih payah kamu yang sudah menyanyi. Anggap aja ini bayaran atas pekerjaan kamu tadi,” ujar nayla setengah memaksa sambil memasukkan uangnya ke dalam saku ina.

“ Makasih kak!” ujarnya pelan.

Setelah ina pamit pulang nayla masih terpaku menatap bayangannya yang menghilang dibelokan jalan. Ia baru menyadari jika selama ini sikap manja, egois dan gaya hidup hedoisme telah membutakannya akan keadaan sekeliling. Tak pernah sekali pun ia merasakan bagaimana susahnya mencari uang. Semua materi yang diberikan oleh orang tuanya hanya bisa dihambur-hamburkan tidak jelas. Pertemuannya dengan ina dan kejadian tadi mengubah cara pandangnya selama ini bahwa tidak semua hal bisa didapatkan dengan mudah.

“ Ra, gw menemukan cinta lain diatas kereta ekonomi tadi, besok anterin gw cari rumahnya ina, gw pengin jadi seseorang yang berarti dihidupnya,” ujarnya pelan.

Aku tersenyum. Cinta memang bisa tumbuh dimana saja dan kapan saja meski diawali oleh kejadian yang menyakitkan.




adaptasi dari majalah

ayahku yg jahat

“Ayahku Yang Jahat”

Ibunya bekerja sebagai pedagang sedangkan ayahnya bekerja sebagai petani.Ia memiiki dua orang anak.Anak pertama mereka perempuan disekolahnya ia termasuk anak yang pintar.Pada saat pembagian rapot ia mendapat peringkat ke-6,akhirnya ia bicara pada kedua orang tuanya,ia meminta maaf karena sudah mengecewakan orang tuanya dan ia berjanji akan memperbaiki nilainya itu.Kemudian ayahnya bilang,”jangan berharap terlalu tinggi!!!buktikan dulu jangan ngomong aja!!!”. Pada satu kejadian lagi,hari itu memang sedang mati lampu,ayahnya tidak sengaja menginjak kepala anak perempuannya itu.lalu si anak mengadu kepada ibunya,dan ia merasa tidak dipedulikan,diremehkan dan tidak diperhatikan oleh ayahnya.Dan anak itu bilang kepada ibunya bahwa ia akan selalu benci kepada ayahnya sampai kapanpun,si anak bilang “kalo saya sudah berhasil nanti saya tidak akan pernah membantu/mengasihi/membanggakan ayah dengan semua keberhasilanku.” Karna si anak itu beranggapan bahwa ia tidak lagi dianggap sebagai anak oleh ayahnya,pada saat itu ia menulis di kaca kamarnya “ AYAH YANG JAHAT.” Dengan keadaan si anak yang seperti itu,akhirnya ibunya berbicara kepada ayahnya,dan ayahnya menjawab,bahwa ia kesel tehadap anaknya karena anaknya kalo diberi nasehat tidak mau mendengarkannya dan selalu meremehkan nasehat ayahnya,dan apapun yang dikerjakan ayahnya tidak pernah dihargai oleh anaknya.Faktanya adalah bahwa si ayah tidak pernah merasa dihargai oleh anaknya layaknya seorang anak menghargai seorang bapak,akhirnya timbul perasaan minder dengan anaknya yang berprestasi sedangkan ayahnya hanya orang bodoh yang tidak ada gunanya.Akhirnya ibunya menangis dan memohon kepada bapaknya untuk memberi pengertian kepada anaknya dan ibunya juga bilang kepada anaknya memohon untuk sedikit menghargai bapaknya itu karena tidak mungkin dalam satu keluarga ada salah satu anggota keluarganya yang membenci angota lainnya apalagi ini adalah seorang anak yang membenci ayahnya begitu pula sebaliknya.

" Anak Tiri Yang Teraniaya"

“Anak Tiri Yang Teraniaya”


Namaku Donna Ford. Aku baru berumur lima tahun. Setelah dibuang oleh ibu kandungku aku diasuh oleh ibu tiriku,Helen. Diusiaku yang masih terbilang anak-anak, aku sudah merasakan bagaimana rasanya dianiaya. Aku pernah dikatai sebagai anak haram, Karena itulah aku dibuang oleh ibu kandungku sendiri. Aku menjadi korban penganiayaan fisik dan mental, lalu berkembang menjadi serangan seksual paling menggiriskan.

Aku sering kali di pukuli dan dibiarkan kelaparan. Untuk buang air kecil saja sulit bagiku. Meskipun aku sudah berjam-jam di dalam kamar mandi, aku tetap saja tidak boleh menggunakan toilet. Kalau sudah kebelet, terpaksa aku mengompoli diri sendiri. Bahkan aku pernah diperkosa. Anehnya, aku seakan tak terlihat oleh ligkungan sekelilingku. Tak seorang pun berusaha menghentikan siksaan itu.

Sewaktu masih anak-anak, aku tidak punya suara. Tak ada yang memperhatikan jeritan minta tolongku. Akhirnya aku berhenti meminta pengampunan, perlindungan, makanan, berhenti minta diizinkan pergi ke kamar kecil dan berpakaian agar merasa hangat. Kata-kata tidak membantu ataupun memberi kenyamanan, hanya menimbulkan kemarahan dan kebencian. Aku juga berhenti berharap. Departemen pelayanan social tutup mata terhadap apa yang terjadi dalam hidupku. Sekolah seperti buta pada bekas memar-memar di tubuhku dan tulang-tulangku yang menonjol akibat kelaparan. Aku bukan saja seorang tanpa suara, aku juga tak terlihat.

Neraka itu seakan-akan tidak pernah berakhir. Ia mengurungku di dalam lemari. Ia membiarkan ku kelaparan, memukuli dan menyiksaku. Ketika ia mengadakan pesta-pesta, memutar musik keras-keras, dan tertawa saat para lelaki yang ia sebut teman, memerkosa dan menganiayaku dirumah kami. Ternyata Helen menjualku kepada laki-laki hidung belang itu. Aku yang gemetar ketakutan setiap kali mendengar musik di luar kamarku bertambah keras dan gagang pintu bergerak. Aku yang merasakan kengerian disuruh “membawa pesan” pada para lelaki setempat yang kemudian menganiayaku semudah mereka mengatakan “Halo” kepada tetangga sebelah. Aku yang berbaring kaku di tempat tidur, menanti bunyi bel yang menandakan seseorang lagi dari “teman-teman” Helen datang untuk memerkosa putri tirinya yang baru berumur delapan tahun.
..beberapa tahun kemudian..

Umurku 44 tahun. Aku sudah menikah dan punya tiga anak yang hebat. Aku seorang seniman sukses, dengan pengalaman mengadakan berbagai pameran dan penjualan yang berhasil. Dan, sekarang aku duduk di dalam gedung Pengadilan Tinggi Endinburgh, mentap seorang wanita yang tidak kulihat selama 30 tahun. Helen Ford, berdiri di panggung terdakwa, tampak lebih kecil daripada terakhir kali kami berurusan satu sama lain.

Sewaktu aku berangkat pagi ini, putriku yang baru berumur enam tahun bertanya apa yang akan kulakukan. Ia kuberi tahu bahwa ketika aku masih kecil, seorang wanita bernama Helen berbuat jahat padaku, tapi sekarang, hari ini, pihak berwenang akan menyuruhnya minta maaf, putriku menerima semuanya memercayai setiap kata yang kubuat sederhana, apakah aku sendiri memercayai adalah masalah lain. Harapan ada orang yang akhirnya mau mendengarkanku melebihi apa yang berani kupercayai.

Aku tidak minta ini.
Aku tidak mengajukan kasus ini.
Aku tidak mencari ganti rugi, pembalasan dendam, atau bahkan keadilan atas apa yang ia perbuat selam tahun-tahun itu. Aku telah begitu lama menyingkirkan semua ini dari pikiran sehingga kepala dan tubuhku mengalami shock Karena harus menghadapi kenangan-kenangan ini.

Wanita yang berdiri didepan ku ini tampak alim. Bukan orang yang akan diingat oleh semua orang yang berpapasan dengannya setiap hari dalam hidupnya. Ia tampak seperti semua wanita usia akhir 50-an yang hendak menjalani hari biasa. Rambutnya pendek, sederhana, tidak bergaya macam-macam. Wajahnya tampak meke-up.jaket hoitam dan celana panjangnya yang berkaki lancip biasa-biasa saja. Blus putih dan sepatu yang ia pakai selama siding tidak mencolok. Ia masih memakai kacamata besar seperti ketika masih kecil. Helen ford terlihat sebagai wanita biasa.

Selam lima hari, ia tidak tergerak saat ditanya soal pemukulan diriku sewaktu aku msih baliata. Ia tidak melemah ketika disodori pertanyaan bagaimana ia biasa menghantamkan wajahku ke cermin,memberiku makan makanan anjing,menbuatku berdiri nyaris telanjang selama berjam-jam di dalam kamar mandi, memaksaku membersihkan rumah dengan sikat kuku, mengancam akan mencambukku sampai hampir mati. Ia tidak berekspresi ketika dimintai jawaban, alasan apapun atas tindakan memenjara seorang anak dan menolak memberinya makan. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak membuatnya marah kenapa aku sampai kekurangan gizi? Kenapa aku mencuri makanan dari saku teman-teman sekolah? Helen ford menjawab dengan satu kata setiap kali bisa. Ia tidak menunjukkan emosi disetiap tahap persidangan.

Ia berdiri disana, didakawa atas tuduhan “menjual anak dibawah umur untuk kegiatan penganiayaan seksual”. Dan wajahnya tidak menunjukkan perasaan. Dan aku menunggu. Menunggu verita itu berakhir, menunggu munculnya alasan, penjelasan,untuk menjadikan masuk akal semua kenangan yang begitu lama kuingkari.
Aku menunggu dia mengatakan “maaf”…



Dikutip dari novel, karya “ Donna Ford”